Cerpen Dengan Tema Kekeluargaan Yang Berjudul Maafkanlah Daku

Cerpen Keluarga adalah sebuah cerpen yang disana menceritakan hidup sebuah keluarga tertentu. Cerpen ini biasanya di angkat dari sebuah kisah yang pernah mungkin di alami oleh sang penulis. Cerpen memang menajadi salah satu bagian sastra yang disukai oleh masyarakat, namun untuk tema keluarga sendiri masih jarang yang mengangkat kisah seperti ini. Karena kebanyakan yang mengangka cerita sebuah kekeluargaan itu adalah sebuah sinetron. Nah dengan semakin berkembangnya imaginasi para sastrawan muda saat ini sudah bisa menyajikan sebuah cerpen namun serasa sebuah sinetron.

Cerpen Dengan Tema Kekeluargaan Yang Berjudul Maafkanlah Daku

Oke sobat langsung saja berikut adalah cerpenya semoga sobat bisa menikmati sebuah cerpen yang saya bagikan pada kali ini.

MAAFKAN DAKUĀ 

Tema : Kekeluargaan
Pengarang : Marni My’sun

Beribu luka telah tertanam di hatinya. Mungkin beribu maaf pun tak cukup membuat lukanya mengering atau bahkan hilang–lenyap. Luka itu akan tetap ada bahkan sampai malaikat maut merenggut nyawanya. Aku tahu semua ini salahku. Aku tak bisa menjadi istri yang baik untuk suamiku. Aku telah mengkhianati cintanya yang tulus itu. Kini, aku begitu menyesal tiada tara.

“Mas, tolong maafkan aku! Aku janji, aku nggak akan lagi mengulangi semua kesalahanku. Aku janji,” pintaku pada Mas Aji, suamiku yang hendak menceraikanku.

“Aku sudah nggak tahan hidup bersamamu lagi. Bertahun-tahun lamanya aku membina rumah tangga ini dengan kesetiaan, kejujuran, dan penuh kasih sayang, tapi kenapa kamu harus menghancurkannya? Kamu tega mengkhianati cintaku, Mayra. Kamu tega! Dan kamu tahu? Sakit hatiku masih jelas kurasakan dan mungkin akan tetap membekas sampai mati pun.” Perkataan Mas Aji begitu menyayat hatiku. Mengusik batin yang telah dipenuhi oleh rasa bersalah karena kelakuan bodohku. Aku telah berselingkuh dengan laki-laki yang menurutku dia lebih baik dari suamiku, entah itu dari segi fisik ataupun materi, namun sekarang, semua tak ada artinya. Aku begitu tersadar bahwa tak ada yang lebih baik dan lebih tulus selain suamiku itu sendiri. Sungguh, aku sangatlah menyesal. Aku telah sengaja menancapkan seribu duri di hati Mas Aji.

Sekian lamanya aku hanya bisa terdiam. Mulutku seperti terbungkam. Rasa sesak di dada mulai membuatku sulit untuk menghembuskan napas. Kristal bening tak terasa jatuh dan mengalir di kedua pipiku yang sudah tak lagi merona itu.

“Secepatnya aku akan menceraikanmu, Mayra!” pekik Mas Aji yang tetap ngotot ingin bercerai denganku, sementara aku tak mau kehilangannya.

“Mas, aku mohon jangan ceraikan aku! Aku masih mencintaimu, aku nggak mau kehilanganmu, Mas. Aku sangat menyesal dengan semua ulahku. Please, beri kesempatan sekali ini untuk memperbaiki sikap dan perilakuku untuk menjadi istri yang baik,” lirihku begitu memohon, sambil terisak dalam tangis berharap Mas Aji mau memaafkanku dan membatalkan niatnya untuk menceraikanku.
“Tidak! Pokoknya aku akan menceraikanmu! Titik!” Mas Aji bersuara keras, aku semakin tak berdaya mendengar ucapannya. “Hiduplah bersama laki-laki yang kamu jadikan selingkuhanmu itu!” ucapnya lagi sebelum melangkahkan kakinya keluar rumah.

Akhirnya, Mas Aji pun pergi. Dia meninggalkanku tanpa rasa iba. Kuamati punggungnya untuk yang terakhir kali sebelum dia menyelinap di balik dinding rumah perkampungan itu. Air mataku semakin berderai. Sebegitu marahkah suamiku terhadapku? Sampai-sampai permohonan maaf pun tak sanggup menghapus duka lara di hatinya. Ya, aku tahu, bahkan sangat tahu bagaimana perasaannya
Mas Aji saat ini. Betapa kecewa dan sakit hatinya melihatku telah berani berselingkuh. Ah, semua ini murni kesalahanku. Apalah dayaku kini sudah terlambat. Meski harus menangis darah pun tak akan mampu mengembalikan hatinya yang terluka, tetapi semua memang sudah terlanjur. Apa yang kuperbuat dahulu kini harus kutelan mentah-mentah sebagai karma.

Sebulan sudah aku resmi bercerai dengan Mas Aji. Rasanya seperti mimpi. Aku masih merasakan kecupan mesra dari Mas Aji di setiap malam dan menjelang pagi. Masih kuingat jelas senyum manis dan canda tawanya. Bahkan, aku sangat ingat ketika aku hampir putus asa, dia yang selalu menyemangatiku. Saat badanku tak enak, dia pun menggantikan posisiku. Dia rela mencuci baju, piring, bahkan memasak pun juga Mas Aji siapkan walau dia sudah lelah karena seharian bekerja.

Betapa suamiku dulu begitu baiknya terhadapku, tetapi kenapa aku tak pernah mensyukurinya? Justru aku malah bersenang-senang dengan laki-laki lain di luar sana. Ah, aku memang wanita yang kejam dan tak pernah melihat sisi kebaikan-kebaikan Mas Aji terhadapku.

Kini, tak ada lagi yang bisa kuharapkan dari Mas Aji. Dia sudah pergi dan mungkin tak akan pernah kembali, sementara laki-laki yang dulunya kujadikan selingkuhan kini pergi juga entah ke mana.

Yang paling kusesali adalah ketika aku menyadari semua kesalahanku, di situ pula Mas Aji lebih memilih berpisah. Ya, pisah. Sudah tak ada lagi kata maaf sedikit pun darinya.

“Ya, Tuhan. Aku nggak sanggup. Aku ingin mati saja. Lagipula, hidup di dunia sudah tak ada artinya lagi,” rutukku dalam sanubari.

Meski pada awalnya kupaksakan untuk bertahan, justru semakin berat untuk kutahan. Aku sudah pasrah dan ingin menyerah. Rasanya seperti ingin mengakhiri hidup di dunia fana ini. Sudah terlalu banyak dosa yang kuperbuat. Penyesalan yang tiada akhir hanya menambah beban di hidupku.

Tanpa berpikir lama, kuambil sebuah botol yang biasa digunakan untuk membunuh serangga. Ingin rasanya aku meneguk isinya dan berharap malaikat Jibril segera mencabut nyawaku, tetapi aku masih sempat memikirkan sesuatu sebelum meninggalkan dunia. Ya, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Aku kembali teringat akan anakku yang masih berumur lima tahun. Dia sedang tertidur pulas di kamarnya malam ini. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan anakku yang masih kecil.

Siapa gerangan yang akan merawatnya nanti? Aku tak ingin anakku hidup sengsara karena tiada orang tua yang mendampingi. Aku tak mau hal itu terjadi. Akhirnya, niat bunuh diri pun kuurungkan. Kubuang jauh-jauh benda tersebut dariku, kemudian kususul anakku ke kamar dengan langkah tegap. Aku ingin merawat anakku dengan penuh kasih sayang. Aku ingin menemaninya hingga napas ini tak berhembus lagi, walau tanpa kehadiran suami di sisiku.

TAMAT