Cerpen Tentang Sebuah Kerinduan Karya Anjia Mutiara

Cerpen Tentang Sebuah Kerinduan | cerpen seperti ini juga menjadi salah satu cerpen yang saat ini sangat diminati oleh para pencinta sastraa. karena cerpen-cerpen seperti ini biasanya ia hanya mengangkat sebuah kisah yang sudah pernah ia alami sebelumnya. oleh karena itu cerpen-cerpen seperti ini sangat banyak di minati ole kalangan sastrawan. karena selain ia bisa berkarya namun ia juga bisa berbagi sebuah cerita hidupnya. 

Ya seperti yang sobat tau lah kalau bercerita tentang sebuah pengalaman hidup yang penuh unek-unek maka dengan ini sobat akan merasa plong karena semua curahan hati yang terpendam saat ini sudah di ungkapan meski itu dalam bentuk sebuah karya. oke sobat berikut ini adalah sebuah cerpen rindu dari anjia semoga sobat bisa menikmati cerpen berikut ini. 

Cerpen Tentang Sebuah Kerinduan Karya Anjia Mutiara

JEREBU RINDU

Tema: ASAP
Oleh:  Anjia Mutiara

Sinar pagi yang redup mengintai dari sudut kelambu kamarku. Sudah menjadi kebiasaanku setiap hari untuk bangun pagi dan memulakan aktivitas harian. Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, aku harus menghantarkan anak-anak ke sekolah.

Waktu menunjukan pukul 07.30 pagi. Ku buka hp untuk mengecek keadaan cuaca hari ini.
“Kabut begitu pekat, hari ini Chloe gak masuk sekolah,” kukirim pesan singkat pada istriku yang sudah berangkat kerja lebih dulu.

“Ok.” Jawab istriku singkat.
“Chloe, kamu tidur lagi aja ya, hari ini gak usah masuk sekolah,”paparku pada anakku yang sudah terlanjur bangun.
Tanpa menghiraukan aku, Chloe anak pertamaku langsung kembali tidur.

Jerebu pekat masih berarak mengukir langit mengikuti arah mata angin. Nahas, hari ini aku harus turun ke lapangan. Menghadapi tugas berat bertemankan kabut yang semakin kelam. Siang ini gerimis menyejukkan bumi. Menabur rindu disetiap rintik yang menyatu. Berharap dapat mengurangi jerebu-jerebu binal yang mengejekku.

Masker sudahpun aku kenakan. Pengap rasa bersamaan dengan penat menghadapi tugas di lapangan.
“Semoga hujan ini membawa berkah ….,” ucapku membuyarkan keheningan di waktu makan siangku.
“Semoga,” jawab teman kerjaku singkat.

Duduk sebentar usai makan siang, dengan menikmati pandangan indah sekitar puncak, walau masih tertutup kabut namun tak sedikit mengurangi keindahan ciptaanNya.
Aku menatap layar hp di tanganku. Sejenak aku sangat merindukan keluargaku. Aaakhh aku begitu penat ….

“Sayang, malam ini kita bisa makan malam bersama kan, aku tunggu di rumah ya …” Sms masuk dari istri tercinta membuyarkan lamunanku.
“Malam ini aku pulang telat, sayang, maaf ya,” ada rasa bersalah karena tidak bisa menuruti keinginan istriku.
“Ya sudah gak apa-apa, mungkin lain kali, jaga diri ya,” jawabnya.
Selalu pengertian seorang istri yang mendorong semangatku.

Waktu kembali menggelayut menapaki ruang-ruang nanar dalam batinku. Kenapa hari ini begitu padat dengan aktivitas. Tak ayal aku terus mengeluh, dengan sesaknya nafas akibat jerebu senyawa semakin membuatku tumbang.

Petang meragam, gerimis kali ini tak sedikitpun menampakkan pelangi senja. Secercah siluet memperindah langit disebalik kabut pekat yang menggumpal.

“Semoga tugas ini berakhir lebih cepat, aku sudah gak tahan,” pemikiran berkecamuk memperolok keadaanku.

Pukul 08.00 malam, aku menghentikan kerjaku. Aku langsung bergegas menuju mobil kesayanganku dan membanting setir menuju rumah. Kepalaku pusing, mungkin karena terlalu lelah. Aku berusaha mengendarai mobil dengan kecepatan maksimal. Ingin segera rasanya sampai di rumah, bermain dengan sang buah hati yang dapat melenturkan otot-otot sarafku yang lelah ini.

Aku paksakan untuk terus bertahan, yah … aku tumbang karena sesaknya nafas yang begitu menyiksaku hari ini. Jalanan agak sepi, mobil terus berjalan dengan laju berpacu dengan waktu. Pandanganku tiba-tiba gelap, aku tak mampu lagi mengendalikan arahku. Aku masih sadar ketika mobil oleng dan—dimana aku?
“Tempat apa ini, kenapa semua nampak putih?”
Kini kusadari perjalanan hidup telah berakhir. Lunglai, sunyi, kini kulalui sendiri. Berlalu meninggalkan angan bisu. Membiarkan harapan para penyayang tak berujung.
“Maafkan aku istriku, aku tak mampu membahagiakanmu, jaga buah hati kita.”

Berlalu dengan sepenggal waktu yang menjadikan diri memahami betapa sempitnya sebuah kesempatan yang perlu kita manfaatkan sebaik

TAMAT