Dekadensi Moral Kian Memperkusam Wajah Pendidikan Indonesia

Kembali, lagi dan lagi saya mengajak antum sekalian untuk merenungi dan mentafakuri wajah pendidikan bumi pertiwi, negeri makmur nan elok, seelok ungkapan gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo itu.

Sebelum mengulas pengaruh dekadensi moral terhadap wajah pendidikan Indonesia, barangkali saya sepakat dengan jargon nya mas Tere Liye yang sempat menjadi judul novel terlaris itu, “Negeri Para Bedebah.”

Bagi saya pribadi, pesan yang ingin disampaikan oleh mas Tere Liye lewat novel spektakulernya itu adalah kecamuk politik di Indonesia telah menggurita sehingga perkara-perkara lain, sebut saja pendidikan, telah bias oleh warna-warni pergolakan politik.

Lantas apa hubungannya dengan dekadensi moral?

Pertama, saya ingin menegaskan bahwa wajah pendidikan Indonesia memang telah kusam sebelumnya, kusam karena terlalu sering dibiarkan. Jarang dicuci. Dicuci pun paling sekali, itupun tanpa detergen, bahkan terkadang lupa dibilas. Aduh betapa ironisnya ya.

Lain perkara, lain juga perlakuannya. Bagaiman dengan politik? Hohoh. Jangan ditanya lagi. Politik bak “pakaian” indah negeri ini. Perawatannya sangat dijaga, kotor dikit langsung dicuci. Dicucinya pun gak biasa, detergen yang dipakai semuanya bermerek. Kira-kira seperti itu analoginya.

Nah antum masih kurang puas dengan analogi diatas? Coba aja sekali-kali cek berapa besar porsi dana APBN yang dianggarkan pemerintah untuk urusan politik. Dan bandingkan dengan porsi dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Saya yakin dengan seyakin-yakinnya untuk anggaran pendidikan mungkin akan antum temukan seberapa besar, tetapi untuk dana “politk”, it’s impossible to find. Why? Apakah kata “politk” itu terlalu absurd untuk dimuat dalam APBN? Ataukah terlalu umum?

Tidak absurd dan tidak umum tetapi karena politik itu terlalu “khusus”. Saking khususnya, para oknum-oknum bedebah itu tak rela jika aliran dana yang mereka makan dipublikasikan ke masyarakat luas. Ya iyalah, lucu dong kalo dana milyaran untuk studi banding ke luar negeri diketahui banyak pihak, belum lagi dana-dana siluman lainya, hohoh bisa gempor itu bapak-bapak yang duduk manis di dewan.

Sebenarnya saya tidak suka mebanding-bandingkan, apalagi dalam ranah yang sangat luas yaitu antara pendidikan dan perpolitikan. Akan tetapi jika realitas yang berjalan seakan pincang, mohon maaf, saya tak tahan jika hanya berdiam diri dan apatis.

Oleh sebab itu, diawal saya katakan bahwa wajah pendidikan Indonesia memang telah kusam sebelumnya. Kusam karena dekadensi moral. Dekadensi moral nya siapa? Ya, moralnya para “oknum penguasa”. Loh kok bisa? Sebenarnya apa sih dekadensi moral itu?

Dekadensi moral secara etimologi maupun terminologi artinya sama sama kemerosotan moral. Berarti para “oknum penguasa” itu gak bermoral dong? Padahal kan mereka rata-rata berpendidikan tinggi?

Nah ini yang ingin saya tegaskan bahwa panen pendidikan masa kini telah gagal menghasilkan bibit-bibit unggul untuk masa yang akan datang. Antum benar bahwa mereka rata-rata berpendidikan tinggi tetapi sayang karir dan intelegensi nya memang MEROKET akan tetapi moralnya yang MEROSOST.

Bacalah ulasan saya sebelumnya terkait dualisme pendidikan, sehingga antum akan mafhum kenapa terjadi dekadensi moral seperti ini. Mereka “gagal” bukan karena mereka bodoh, tetapi mereka kurang cerdas memaknai pendidikan. Bagi mereka pendidikan adalah sekolah, kuliah, dan kuliah yang lebih tinggi lagi, untuk merebut kursi kekuasaan yang konon katanya mampu membuat antum menjadi kaya dengan sekali duduk saja. Mereka lupa, atau pura-pura lupa, atau mungkin tidak tau sama sekali esensi dari pendidikan itu seperti apa.

So, wajar dong jika saya katakan wajah pendidikan Indonesia sudah kusam karena dekadensi moral para “oknum penguasa” nya. ya kan?

Apakah sampai disitu saja?

Tentu masih ada kelanjutannya. Tulisan yang baik haruslah berakhir dengan happy ending dong. Masa akhirnya jelek gitu, kasian dong yang bacanya.

Antum pernah mendengar sebuah ungkapan, entahlah ini sejenis pribahasa atau kata kata bijak, yang jelas kalimat itu berbunyi “Air cucuran, atap jatuhnya ke pelimpahan Jua”. Dosen Bahasa Indonesia saya mengartikan ungkapan itu dengan kalimat, “tingkah laku anak akan mengikuti tingkah laku orang tua nya, atau tabiat anak biasanya sama dengan tabiat orang tua nya.”

Nah, ternyata oh ternyata, dekadensi moral ini sudah mulai memperluas pangsa pasarnya. Jika sebelumnya pangsa pasarnya hanyalah orang-orang tua yang ongkang-ongkang kaki di atas “kursi” itu, sekarang bidikan dekadensi moral adalah dunia remaja. Ya, sejalanlah dengan lagu nya Bang Rhoma, “masa muda masa yang berapi-api”. Pas momennya, pas targetnya.

Coba antum perhatikan dinamika dunia remaja saat ini. Dunia remaja sangat identik dan tak jauh dengan kata kata narkoba, miras, seks bebas, tawuran dan berbagai macam unsur negatif yang seakan merupakan label paling pas untuk menggambarkan wajah para anak muda bangsa ini.

Inilah yang dinamakan dekadensi moral dalam lingkup remaja. Lantas siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus dibenarkan? Sudahlah, cukup sudah mengkambing hitamkan salah satu pihak dalam permasalahan yang vital seperti ini. Kenapa? Karena jika kita terusa-terusan menelisik siapa yang salah, siapa dalangnya, saya jamin sampai kapanpun gak akan ada habisnya dan takkan pernah ada solusinya. Jadi apa yang harus diperbuat?

BENAHI DIRI. itu sudah cukup. Tempatkan diri antum pada kapasitasnya masing-masing. Jika antum sebagai orang tua, maka jadilah orang tua teladan bagi anak-anaknya. Kurangnya kontrol orang tua terhadap anak itu sangat berbahaya, sama bahayanya dengan kontrol orang tua yang berlebihan.

Jadilah orang tua yang moderat. Ada saat dimana orang tua itu harus tegas, dan ada waktu dimana orang tua itu harus legowo. Dalam islam pun sudah diatur, bahwa untuk hal-hal yang sifantnya mahdha (wajib) seperti shalat, perkara halal-haram, maka orang tua harus tegas. Sedangkan untuk hal-hal yang sifatnya ghairu mahdha (muamalah), disitulah orang tua harus legowo. Saya kira, antum sebagai orang tua jauh dan sangat jauh lebih bijak dalam mendidik anak, memberikan pendidikan karakter dan teladan yang agung dibandingkan saya yang masih kanak-kanak ini.

Nah, jika antum sebagai anak, maka posisikanlah diri antum, ya sebagai anak, bukan sebagai jagoan. Bagaimanapun juga, jangankan hukum agama, hukum alam dalam ranah kehidupan pun begitu intimnya mengatur hubungan antar anak dan orang tua.

Karena anak yang cerdas dan kaya bukanlah anak yang mampu membelikan orang tuanya rumah mewah atau menjadikan orang tuanya terpandang di mata masyarakat. Tetapi anak yang cerdas dan kaya adalah anak yang mafhum betul kala orang tuanya bahagia dan saat orang tuanya kecewa.

Saya yakin jika sinkronisasi antar orang tua dan anak telah terjalin, perlahan akan menghentikan dan mengikis habis wabah dekadensi moral yang menghancurkan karakter serta martabat anak bangsa.

Akhir kata, meskipun wajah pendidikan Indonesia telah kusam oleh dekadensi moral, namun hati dari pendidikan itu tetap bersih, suci, dan bercahaya. Karena Indonesia adalah negeri yang gemah ripah, bukan hanya dari Sumber Daya Alamnya saja melainkan Manusia-manusianya juga melimpah dan kaya akan kecerdasan baik lahiriyah maupun bathiniyah. Sekian, Mari perangi dekadensi moral untuk masa depan bangsa yang SPEKTAKULER.